Sunday 22 October 2023

Menjadi Seorang Guru? Sebuah refleksi dalam sudut pandang Kekristenan

 

Menjadi seorang guru adalah sebagai pembelajar dewasa, guru seharusnya dapat belajar dari pengalaman hidup yang bisa diceritakan kembali kepada orang lain terutama bagi para siswa. Pengalaman menjadi hal sangat penting, pengalaman berupa pengalaman hidup yang dapat diceritakan dengan gamblang kepada siswa. Lebih banyak orang mudah memahami sesuatu ketika dengan merasakan pengalaman langsung. Bagi saya menjadi guru adalah suatu tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan latar belakang profesi saya sebelumnya di manufakturing dan bisnis pribadi, ada hal yang sangat mendasari perbedaan profesi tersebut. Seorang guru diberikan tanggung jawab baik segi kognitif, skill dan afektif berupa moral dan spiritual, dan lagi setiap tahun tantangan selalu berganti seiring dengan perkembangan biologis dan psikis anak didik, dan juga berganti anak didik yang dipercayakan orang tua kepada guru lewat sekolah.

Saya menyadari bahwa sebagai seorang guru, saya masih banyak belajar terutama dari pengalaman-pengalaman hidup saya sendiri, saya juga mendapatkan dari pengalaman hidup orang lain, terutama dari rekan kerja saya, selain itu seorang guru juga bisa belajar dari apa yang dihadapi terhadap masalah siswa dan juga orang tua. Sekarang ini saya banyak menghadapi generasi siswa sekarang yang kurang peduli terhadap orang lain, banyak siswa yang bermasalah karena keluarga mereka yang bermasalah. Guru sebagai pendidik mau tidak mau juga berperan sebagai konselor bagi siswanya, membimbing siswa untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dihadapinya. Saya sering kali menceritakan pengalaman hidup saya yang menurut saya tidak mulus dan saya yang dulu meninggalkan kehidupan kekristenan saya, saya menolak Yesus sebagai Tuhan, dan saya banyak melakukan dosa, waktu itu ketika saya masih di akhir perkuliahan ketika saya mengambil sarjana dan awal-awal saya bekerja setelah lulus, banyak pengalaman hidup saya yang saya ceritakan lewat tatap muka di kelas yang berhubungan dengan pelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai alkitabiah, juga ketika saya berhadapan dengan siswa didik saya ketika saya ada waktu khusus untuk mereka satu per satu. Seorang guru itu seharusnya tidak hanya sekedar “jarkoni” , mung ngujar ning ora ngelakoni; hanya berujar, berkata tetapi tidak melakukannya, tetapi seorang guru adalah teladan bagi siswa didiknya, guru memberikan suatu contoh berupa tindakan yang sudah dia lakukan. Akan sangat terasa berbeda jika kita mengatakan sesuatu hal, tetapi kita tidak atau belum pernah melakukan hal tersebut, dibandingkan dengan mengucapkan sesuatu hal yang sudah dilakukan sebelumnya. Orang yang sudah melakukan sesuatu akan lebih mudah menceritakan kembali pengalaman tersebut kepada orang lain karena yang diceritakan adalah pengalaman hidup. Banyak siswa yang terkadang melakukan kesalahan tetapi tidak menyadari kesalahannya, ada juga yang melakukan kesalahan tetapi hanya berhenti sampai kepada permintaan maaf tetapi belum ada tindakan yang nyata untuk menindaklanjuti setelah permintaan maaf tersebut. Proses mendidik siswa bisa jadi tidak akan bisa kita lihat langsung perubahannya, perubahan terkadang harus sampai ketika mereka sudah lulus atau bahkan ketika mereka sudah beranjak lebih dewasa. Mungkin begitulah siswa seperti saya juga seorang guru yang lebih dewasa dari mereka, tetapi saya terus berproses dalam pembelajaran saya. 

Tak jarang beberapa alumni yang pulang ke Solo mereka mampir ke sekolah hanya untuk bersua dengan guru-guru mereka dahulu. Mereka bercerita dengan tantangan yang mereka hadapi ketika kuliah di luar negeri dan sekarang bekerja di luar negeri juga, dan mereka bilang bahwa mereka bersyukur diberi didikan yang berarti yang mempersiapkan mereka menjadi anak yang lebih mandiri dan memiliki prinsip dalam hidup mereka. Bahkan mereka pun juga beberapa masih ingat dahulu ketika saya memarahi mereka dan mereka baru menyadari kenapa mereka dimarahi ketika malah mereka sudah lulus. Masing-masing pribadi belajar, berproses dan menjadi lebih baik ketika kita fokus dengan apa yang kita pelajari. 

Luke 2:52 And Jesus increased in wisdom and stature, and in favour with God and man. Yesus sebagai teladan hidup kita, sudah mencontohkan seperti di ayat tersebut di atas, ketika Yesus masih berumur 12 tahun dia sudah berfokus dengan Firman BapaNya, kemudian di ayat 52 dikatakan bahwa Yesus semakin berhikmat ketika dia bertambah dewasa pertumbuhannya, dan menjadi pribadi yang disukai Allah dan orang-orang. 


Oleh: Markus Heri Prasetyo, S.T.
Guru Fisika dan Kimia

No comments:
Write komentar

Recent Posts

Contact Form

Name

Email *

Message *